By: Rahmawati Sahing

Kamis, 04 Oktober 2012

Teori Belajar yang Melandasi Konsep E-Learning!


Di perkuliahanku yang udah memasuki semester lima di tahun ketiga pada jurusan teknologi pendidikan  aku punya satu mata kuliah wajib yang menurutku cukup menarik untuk dipelajari terutama buat calon-calon guru. Biar nantinya kalo kalo ngajar lebih menarik dan menyenangkan serta gak membosankan kayak model-model pembelajaran konvensional. Cuman tatap muka dan diceramahin.
Ok, jadi mata kuliahnya adalah pembelajaran online (e-learning), di mana dalam mata kuliah ini bukan hanya diajarkan bagaimana menggunakan e-learning itu sendiri dalam proses pembelajaran sebagai mahasiswa, tapi kita juga diajarkan gimana cara membuat aplikasi e-learning itu sendiri. Cukup menarik sih menurut aku sendiri! Soalnya selama ini udah sering banget ikut perkuliahan atau pembelajaran yang menggunakan e-learning tapi sama sekali belum tau gimana cara membuat e-learning itu sendiri. And, aku sebagai calon pendidik (amin, InsyaAllah!) berharap bisa menerapkan konsep pembelajaran ini di saat aku mengajar nanti  (biar siswa-siswanya juga gak gaptek! Hahaha!
Ok, guys! Jadi, waktu perkuliahan mata kuliah ini baru dimulai tugas pertama yang diberikan oleh pengajarnya (yg ngajar Asisten Dosen) adalah pembekalan utama sebagai pengantar gimana kami bisa memahami terlebih dahulu mengenai apa sih sebenarnya e-learning itu. So, kami dibagi jadi beberapa kelompok untuk menyelesaikan beberapa pertanyaan. Nomor pada pertanyaan mewakili pertanyaan pada soal-soal yang akan dijawab oleh masing masing kelompok sesuai dengan nomor pertanyaan tersebut. Kelompok satu ngejawab soal nomor satu, kelompok dua ngejawab soal nomor dua, dst. Kebetulan waktu itu aku kebagian jadi anggota kelompok dua dan berarti kelompokku harus menjawab pertanyaan nomor dua.
Pertanyaan untuk kelompok kami adalah “landasan teori konsep e-leraning?” Jadi, ini mengenai apa-apa saja yang melandasi terbentuknya konsep e-learning.
Setelah diberi waktu seminggu buat nyari bahan mengenai jawabannya, akhirnya kelompokku memberikan jawaban yang seperti ini (ini uraian ringkasnya doang ya! Ini juga adalah gabungan dari beberapa pernyataan yang diambil dari berbagai sumber). Cekidot!
Perkembangan zaman yang dibarengi perkembangan teknologi kini juga hampir merambah ke seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan. Nah, salah inovasi yang diciptakan dengan adanya perkembangan teknologi adalah e-learning, yaitu salah satu konsep pembelajaran yang memanfaatkan media elektronik.
Ada tiga teori belajar yang melandasi konsep e-learning ini, yaitu:

1. Behaviorisme

Penganut aliran behaviorisme menganggap bahwa belajar adalah perubahan perilaku yang dapat diamati yang disebabkan oleh stimulus eksternal. Mereka melihat pikiran sebagai ”kotak hitam”, respons terhadap suatu stimulus dapat diamati secara kuantitatif, dengan mengabaikan pengaruh proses berfikir yang terjadi di pikiran. Atkins (1993) menyoroti empat aspek yang relevan untuk merealisasikan materi E-Learning berkaitan dengan pemikiran behaviorisme:
- Bahan ajar sebaiknya dipecah menjadi langkah-langkah instruksional yang dihadirkan secara deduktif, yaitu dimulai dengan rumus, hukum, kategori, prinsip, definisi, dengan memberikan contoh-contoh untuk meningkatkan pemahaman.
- Perancang harus menetapkan urutan pengajaran dengan menggunakan percabangan bersyarat ke unit instruksional lain. Umumnya, kegiatan diurutkan dari mudah ke sukar atau kompleks.
- Untuk meningkatkan efisiensi belajar, siswa diminta mengulangi bagian tertentu maupun mengerjakan tes diagnostik. Meskipun demikian, perancang dapat juga mengijinkan siswa memilih pelajaran berikutnya, yang memungkinkan siswa mengontrol proses belajarnya sendiri.
- Pendekatan behaviorisme menyarankan untuk mendemonstrasikan ketrampilan dan prosedur yang dipelajari. Siswa diharapkan meningkatkan kemahirannya melalui latihan berulang-ulang dengan umpanbalik yang tepat. Pesan-pesan pemberi semangat digunakan untuk meningkatkan motivasi.

Secara keseluruhan, behaviorisme merekomendasi pendekatan terstruktur dan deduktif untuk mendesain bahan ajar, sehingga konsep dasar, ketrampilan, dan informasi faktual dapat cepat diperoleh siswa. Implikasi lebih jauh terhadap E-Learning adalah belajar secara drill, memilah-milah bahan ajar, mengases tingkat prestasi, dan memberikan umpanbalik. Tetapi, efektivitas pendekatan desain behaviorisme untuk tugas-tugas berfikir tingkat tinggi masih belum terbukti.

2. Kognitivisme

Penganut aliran kognitivisme menganggap bahwa belajar merupakan proses internal yang melibatkan memori, motivasi, refleksi, berfikir, dan meta kognisi. Dalam pandangan aliran tersebut, pikiran manusia memanipulasi simbol-simbol seperti komputer memanipulasi data. Karena itu, pembelajar dianggap sebagai prosesor informasi. Psikologi kognitif meliputi proses belajar dari pemrosesan informasi, dimana informasi diterima di bermacam-macam indera, ditransfer ke memori jangka pendek dan jangka panjang. Informasi menjalani aliran transformasi dalam pikiran manusia sampai informasi tersebut tersimpan secara permanen di memori jangka panjang dalam bentuk paket-paket pengetahuan. Aliran kognitivisme mengakui pentingnya perbedaan individu dan bermacam-macam strategi belajar untuk mengakomodasi perpedaan tersebut. Gaya belajar yang berbeda-beda (Gardner, 1983; Kolb, 1984) mengacu ke bagaimana siswa menerima. berinteraksi, dan merespons bahan ajar.
Perancang instruksional harus memikirkan aspek-aspek berikut untuk merealisasi materi E-Learning.

- Strategi pengajaran sebaiknya meningkatkan proses belajar dengan mendayagunakan semua indera, memfokuskan perhatian siswa melalui penekanan pada informasi penting, dan menyesuaian dengan level kognitif siswa.
- Perancang instruksional sebaiknya mengaitkan informasi baru dengan informasi lama yang telah ada di memori jangka panjang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan awal untuk mengaktifkan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk materi ajar baru.
- Strategi menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi sebaiknya digunakan untuk menstimulasi belajar level tinggi.
- Bahan ajar sebaiknya memasukkan aktivitas untuk gaya belajar yang berbeda-beda.
- Siswa perlu dimotivasi untuk belajar melalui strategi belajar yang menstimulasi motivasi intrinsik (berasal dari diri siswa) dan motivasi ekstrinsik (berasal dari guru).
- Strategi pengajaran sebaiknya mendorong siswa menggunakan ketrampilan meta kognitifnya dengan cara merefleksi apa yang mereka pelajari, berkolaborasi dengan siswa lain maupun memeriksa kemajuan belajar mereka sendiri.
- Akhirnya, strategi pengajaran sebaiknya menghubungkan materi ajar dengan situasi riil di kehidupan mereka, sehingga siswa dapat mengaitkan pengalaman mereka sendiri.

Secara keseluruhan, perancang instruksional harus memikirkan mulai dari perbedaan aspek-aspek gaya belajar sampai motivasi, kolaborasi maupun meta kognitif. Pendekatan berfokus pada kognitif sesuai untuk mencapai tujuan belajar tingkat tinggi. Kelemahannya adalah jika siswa tidak mempunyai pengetahuan prasyarat.

3. Konstruktivisme

Penganut aliran konstruktivisme menganggap bahwa siswa membangun pengetahuannya dari pengalaman belajarnya sendiri. Belajar dapat dilihat sebagai suatu proses yang aktif, dan pengetahuan tidak dapat diterima dari luar mapun dari orang lain. Siswa sebaiknya diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan bukan diberi pengetahuan melalui pengajaran. Perancang instruksional harus memikirkan aspek-aspek berikut untuk merealisasi materi E-Learning.

- Belajar sebaiknya merupakan proses yang aktif. Siswa diberi kesempatan melakukan aktivitas seperti meminta siswa menerapkan informasi pada situati riil, memfasilitasi penafsiran personal terhadap materi ajar, mendiskusikan topik-topik dalam kelompok.
- Untuk mendorong siswa membangun pengetahuan mereka sendiri, guru harus memberikan pengajaran online yang interaktif. Siswa harus mempunyai inisiatif untuk belajar dan berinteraksi dengan siswa lain.
- Sebaiknya digunakan strategi pembelajaran kolaboratif. Bekerja dengan siswa lain memberikan siswa pengalaman riil dan memperbaiki ketrampilan meta kognitif mereka. Ketika menetapkan siswa-siswa dalam suatu kelompok kerja, keanggotaan sebaiknya didasarkan pada level kemampuan, sehingga setiap anggota dapat mengambil manfaat dari anggota lain.
- Siswa sebaiknya diberi waktu untuk merefleksikan materi ajar. Pertanyaan pada materi ajar dapat digunakan untuk meningkatkan refleksi.
- Belajar sebaiknya dibuat bermakna dan ilustratif dengan cara memberikan contoh-contoh dan studi kasus. Disamping itu, aktivitas sebaiknya mendorong siswa menerapkan materi ajar.
- Ketika belajar memfokuskan pada pengembangan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang baru, E-Learning menghadapi masalah yaitu tujuan belajar psikomotorik, afektif, dan berfikir tingkat tinggi sulit dicapai dalam fase belajar virtual. Maka disarakan memberikan cara lain seperti aktivitas sosial maupun interaksi dengan siswa lain, belajar berbasis konteks, penilain kinerja untuk mengatasi masalah tersebut.

Guys, itu tadi penjelasan singkat mengenai landasan teori e-learning. Di atas juga udah ada cara-cara gimana seorang perancang instruksional e-learning merealisasikan konsep pembelajaran e-learning itu sendiri sesuai dengan ketiga teori tersebut.