By: Rahmawati Sahing

Selasa, 03 Juni 2014

Ketika Rasa Takut Kehilangan menjadi Jebakan




Setiap orang punya sesuatu yang dianggap berharga dalam hidupnya. Yang membuatnya untuk selalu dijaga dan tetap ada menemani hidup kita.
Ok, kita mulai dari pacaran.
Pacaran itu sesuatu yang indah, seru, dan menyenangkan. Tapi ketika semuanya berjalan seiring dengan waktu, itu bisa menimbulkan perasaan baru yang bisa jadi berbahaya, yaitu takut kehilangan.
Semakin indah, semakin baik, dan semakin sempurna si Dia di mata kamu, maka kamu akan semakin takut pula untuk kehilangan dia. Rasa takut inilah yang bisa menjerumuskan kita ke dalam lembah kegalutan yang dapat membuat kita terkadang melakukan tindakan-tindakan irasional. Misalnya terjadi reaksi keegoisan yang berlebih dalam diri karena cemburu kalo melihat si Dia dekat dengan orang lain. Sering melarang si Dia dekat sama orang lain meskipun sekedar teman. Takut kalo-kalo yang deket sama si Dia itu ternyata punya hal yang lebih dari kamu dan si Dia malah bisa berpaling dari kamu.
Di situlah karena ada “rasa” takut kehilangan yang menghantui dan menjebak kita.
Sesuatu yang berasal dari perasaan seringkali melumpuhkan pikiran. Membuat hilangnya keterhubungan antara hati dan logika. Seharusnya dalam urusan cinta kita harus bisa membaginya secara seimbang antara hati dan logika, namun pada kenyataannya kadang malah perasaan dari hati lebih mendominasi dibanding logika.
Ketika rasa takut kehilangan mengendalikan, kadang kamu gak akan bisa berpikir jernih. Kamu akan melakukan apa saja entah itu mengubah diri sendiri atau berusaha mengubah si Dia. Membuat segalanya menjadi rumit dan terkadang sulit untuk dipahami. Intinya biar dia gak pergi, tetap ada di sini, disamping kamu dan nemenin kamu tiap kamu butuh. Terlalu egois memang, dan hasilnya…….dia bisa aja gak nyaman dengan perlakuan itu. Kadang si Dia akan merasa terlalu diatur dan kehilangan hak kebebasannya.
Ketika rasa takut kehilangan mengendalikan, dan keegoisan dari kamu semakin mendominasi, maka bisa jadi si Dia  merasa semakin gak nyaman, dan akhirnya benar-benar pergi. Di sinilah “rasa takut kehilangan” malah menjadi kenyataan.
Tidak sedikit orang yang pada akhirnya berpisah dengan orang yang dia sayang hanya karena rasa takut kehilangan. Menyedihkan memang. Tapi ini kenyataan hidup.
Pada akhirnya kita perlu untuk menyadari bahwa rasa takut kehilangan bukan ada karena kita miliki. Tapi timbul dan tumbuh bersama-sama dengan harapan untuk memiliki. Bisa dibilang semua diawali dengan yang disebut “terlalu ngarep”.
Seharusnya kita belajar bagaimana membangun harapan-harapan dalam diri dan tau bagaimana mengendalikan harapan-harapan itu. Jangan sampai harapan-harapan itu yang malah membuat kita terjebak.
Ngarep boleh tapi jangan berlebihan.

Kamis, 29 Mei 2014

Tentang Kau yang Pergi




Aku hanya bisa terdiam melihat pesan terakhirmu. Pesan balasan yang kau kirim di kotak masuk ponselku. Yang membuat hati ini kembali pada luka lama yang sebelumnya kau sembuhkan karena kehadiranmu.
Ada yang hilang, sekejap ketika ucapan selamat tinggal itu terucap. Ya, kau yang mengucapkannya. Mengucapkannya tanpa suara, tapi menghujam hati begitu dahsyat. Sakit, perih, terluka begitu dalam. Kau pergi, meninggalkanku tanpa sepatah katapun yang bisa kudengar langsung terucap dari bibirmu sendiri.
Kau pergi setelah sekian lama merajut asa dan membingkai kenangan bersamaku. Ada yang salah padaku? Entahlah, hanya dirimu yang tau alasan mengapa kau meninggalkanku. Aku bukanlah wanita sempurna yang bisa dan punya segalanya, aku hanyalah seseorang yang mencintaimu dengan tulus dan melakukan yang terbaik untukmu.
Mencintaimu, dan bisa bersamamu selalu menyenangkan untukku. Semuanya terasa indah. Tak sedetikpun aku merasa bosan saat bersamamu, merangkai begitu banyak kenangan indah. Tapi kini terasa begitu pahit, sakit, dan meninggalkan luka. Kau tau itu?
Kau pergi tanpa peduli aku yang masih tetap di sini menantimu kembali menjelaskan semuanya. Kau pergi meninggalkanku bersama hati yang telah kau hancurkan. Mengapa kau pergi? Haruskah seperti ini?
Apakah kau hanyalah seseorang yang ditakdirkan untuk datang, singgah sejenak, membuat kenangan, lalu pergi begitu saja? Semuanya terasa begitu sulit untuk aku pahami.
Tentang datang dan pergi, aku tidak peduli. Dalam hati ini masih tergores namamu yang selalu kuucap dalam genggaman do’a dalam kedua telapak tangan. Aku mencintaimu.


Semua rangkaian kenangan dan rajutan asa yang terbias dalam kebersamaan kita kusimpan rapi di dalam hati ini. Aku menunggumu kembali. Di sini, di sampingku, bersamamu.
Aku tidak pernah memaksamu untuk tetap di sini, bersamaku, namun jika kau juga memiliki rasa yang sama, mencintaiku, seharusnya kau tidak pergi.

Jumat, 23 Mei 2014

Tentang Waktu




Dari sekian banyak hal yang ada di dunia ini, menurutku yang paling berharga adalah waktu. Waktu bisa jadi merupakan sesuatu yang sangat, atau bahkan paling berharga yang dimiliki oleh makhluk hidup.
Tidak bisa dipungkiri, kita hidup, tumbuh, dan berkembang selalu berdampingan dengan waktu. Semua yang terjadi dalam hidup tidak dapat terlepas dari peran waktu.
Sudah berapa lama kita hidup di dunia ini? Dan apa saja yang sudah kita lakukan selama ini? Apakah kita sudah menghargai waktu?
Dari sekian detik, menit, jam, tahun, bahkan masa yang sudah aku habiskan di dunia ini, mulai dari ikut bernapas, menjadi makhluk sosial, sampai mengenal kejutan-kejutan dalam hidup, aku belajar beberapa hal dari waktu. Waktu dalam arti kehidupan.
Waktu adalah salah satu penyembuh terbaik. Ditinggalkan si dia yang berharga, dicampakkan oleh yang dicinta, atau diacuhkan oleh yang kita cinta dan sayang dan akhirnya semua berakhir dengan menorehkan luka, yang kadang terlalu dalam dan sakit luar biasa.
Dengan waktu, percayalah itu bisa sembuh. Memang sih, ada banyak alasan yang bisa menyembuhkan goresan-goresan luka itu, misalnya ada yang sudah bisa move on  dari do’i, sudah bisa ikhlas menerima kenyataan hidup, atau karena memang sudah bisa lupa. Tapi dari semua alasan itu yang paling berperan adalah sang waktu.
Kita tidak pernah tau kapan kita akan mendapat kesempatan untuk jatuh cinta lagi dan menemukan kembali sepotong hati kita yang baru. Kita tidak pernah menduga akan mampu mengikhlaskan. Kita juga tidak pernah bisa meramalkan kapan kita bisa melupakan. Semuanya tidak akan terjadi jika kita tidak memberikan kesempatan pada sang waktu untuk melakukan berbagai hal dalam merubah segala yang terjadi.
Ya, semuanya butuh waktu. Kita bukanlah Do Min Joon seperti dalam film You Who Came From The Star yang bisa menghentikan waktu.
Butuh waktu untuk menyadari bahwa seseorang begitu berharga. Biasanya setelah mereka benar-benar pergi. Semua itu kadang butuh waktu berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun.
Waktu bisa membuktikan segalanya. Bukti bahwa yang kita rasakan adalah benar-benar rasa sayang yang tulus atau hanya karena sekedar penasaran. Bukti bahwa sebenarnya yang kamu butuhkan adalah orang itu, si Dia yang kini sudah benar-benar pergi meninggalkan kita. Bukti bahwa sejatinya cinta itu harus kita perjuangkan dengan penuh pengorbanan. Sampai membuktikan bahwa sejatinya cinta itu harus memiliki atau direlakan sama sekali.
Semuanya butuh waktu untuk membuktikan apa yang kita rasakan itu benar-benar tulus atau hanya omong kosong tentang bualan manis penuh dusta.
Semua yang terjadi, ucapan, tingkah laku, bahkan harapan, tercipta karena waktu. Ujian hidup yang diberikan Tuhan, sanggup tidak sanggup waktulah yang membuktikan semuanya. Apakah akan berakhir bahagia atau menyedihkan.
Sayangnya, kita sebagai manusia kadang terlalu tidak sabar. Menyimpulkan dan mengambil keputusan seenak jidat dan menghakimi semua yang terjadi bahkan menyalahkan waktu. Padahal kita hanya butuh dua hal agar waktu memberikan jawabannya yang terbaik, sabar dan bijaksana.
Kita hanya butuh memberikan kesempatan pada waktu. Ya, ingatlah bahwa salah satu yang berperan dalam sebuah penyesalan adalah waktu. Waktu memiliki kesaktian yang tidak dapat diremehkan karena tak seorangpun bisa menghentikannya. Waktu tidak dapat diulang kembali. Apa yang terjadi, maka itulah yang menjadi kenyataan hidup. Sikapilah dengan sabar dan bijaksana.
Biarkan semuanya datang, mengalir, dan terjadi, lalu serahkan pada sang waktu untuk diuji sebelum memutuskan bahwa itulah yang tepat atau biarkan berlalu. Semua akan indah pada waktunya.
Jadilah orang-orang yang lebih menghargai waktu.